Jumat, 29 Oktober 2010

CONTOH LAPORAN KASUS DISLOGIA


Bab I : Pendahuluan
Definisi dan Pengertian
Autisme
            Autisme Spectrum Disorder (ASD) termasuk kelompok gangguan perkembangan psikologis, yaitu gangguan neuropsikiatrik yang didapatkan pada anak sejak usia dini, pada tahun pertama kehidupan, dengan karakteristik utama didapatkan keterlambatan dan penyimpangan perkembangan social, komunikasi, dan keterampilan kognitif ( ICD-10, World Health Organization, 1992 ).
            Autisme merupakan gangguan perkembangan fungsi otak yang mencakup bidang social dan efek, komunikasi verbal (bahasa) dan non verbal, imajinasi, fleksibilitas, lingkup interest (minat), kognitif, serta atensi. ( Dr. dr. SM. Lumbantobing dalam bukunya “Anak dengan Mental Terbelakang” ).
            Autisme adalah gangguan perkembangan yang mempengaruhi individu terhadap keadaan dunia sekitarnya. Masalah besar pada autisme adalah berbicara, perilaku, dan hubungan sosial. Autisme memiliki kesulitan dalam berkomunikasi, berbahasa, dan penerapan sikap atau perilaku. ( Vera Bernard – Optiz, Kenneth Lyen dalam “Rainbow dreams”).
            Gangguan bicara yang terjadi pada anak autis, dalam istilah terapi wicara disebut dislogia.

Dislogia
            In ability to speech due to central nervous system dysfunction ; in a less severe form, often referred to as dyslogia. ( L. Nicolosi 1989 ; 6 & 7 )
            Sistem saraf pusat yang mengatur kemampuan bahasa bicara mengalami kerusakan (gangguan), tetapi bentuknya tidak berat atau tidak banyak.
            Dislogia merupakan ketidakmampuan untuk mengekspresikan sesuatu seecara verbal, biasanya dikarenakan kesulitan atau gangguan dalam berfikir (reasoning). ( Materi seminar Evi Sabir-Gitawan, BSc ).
Dislogia merupakan suatu bentuk kelainan dimana perkembangan mental intelektual tidak sesuai dengan perkembangan usia anak yang berdampak pada kemampuan bahasa bicaranya, sehingga dalam berkomunikasi mengalami gangguan. (http://twsurakarta.wordpress.com /2009/03/02/dislogia/).
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa dislogia adalah ketidakmampuan dalam mengekspresikan sesuatu secara verbal yang disebabkan karena adanya gangguan pada system saraf pusat yang mengatur tentang bahasa bicara, namun gangguan yang terjadi tidak banyak.
Penyebab Gangguan
Gangguan yang terjadi dapat disebabkan oleh berbagai macam factor. Adanya kondisi dislogia adalah akibat gangguan pada daerah otak, diperkirakan pada daerah frontal. Karena menurut MC Graw Hall, daerah frontal area 9 dan 12 berkaitan dengan kepribadian, sesuai dengan daerah frontal 9 dan 12 fungsi utamanya adalah kegiatan intelektual dan juga fungsi ingatan, sehingga kerusakan pada daerah otak pada daerah frontal area 9 dan 12 menyebabkan lemahnya daya ingat.
Selain itu penyebab lain dapat terjadi mulai dari dalam kandungan, saat kelahiran maupun setelah kelahiran. (1) Faktor penyebab saat dalam kandungan antara lain karena terserang virus, konsumsi obat-obatan tanpa resep dokter, infeksi janin, kelainan bawaan, serta kelainan kromosom. (2) Faktor penyebab saat kelahiran antara lain karena bayi lahir tidak menangis, prematuritas, bayi kuning (hiperbilirubinemia), lamanya proses kelahiran, lahir dengan bantuan vacuum, feniketonuria, meningitis, ensefalitis. (3) Faktor penyebab setelah kelahiran antara lain karena pada masa pertumbuhan sering sakit, demam tinggi, kejang, keracunan logam berat, kurang gizi, epilepsy dan kesalahan metabolisme tubuh.
Karakteristik
Karakteristik dislogia anak autism menurut Powers (1989), yaitu dalam bidang : Komunikasi (bicara, bahasa, dan komunikasi) ; perkembangan bahasa lambat atau sama sekali tidak ada ; senang meniru atau membeo (ekolalia) ; anak tampak seperti tuli, sulit berbicara, atau pernah berbicara tapi kemudian perkembangannya berhenti ; kadang kata-kata yang digunakan tidak sesuai artinya ; mengoceh tanpa arti yang dilakukan berulang-ulang, dengan bahasa yang tidak dapat dimengerti oleh orang lain ; bicara tidak dipakai sebagai alat untuk berkomunikasi ; bila senang meniru, dapat hafal betul kata-kata atau nyanyian tersebut tanpa mengerti artinya ; sebagian dari anak ini tidak berbicara (non verbal) atau sedikit berbicara (kurang verbal) sampai usia dewasa.
Prevalensi Autisme
Di lahan YPAC Semarang tahun 2009 penderita dislogia sebanyak 63 pasien dari jumlah total 103 pasien.
Prognostik Teoritik
Pada anak-anak autis kadang-kadang “sembuh”, sehingga mereka kehilangan diagnosis ASD. Hal ini terjadi setelah perawatan intensif dan kadang-kadang tidak. Tidak ada penelitian yang difokuskan pada autisme setelah setengah baya. Anak autism dengan kemampuan bahasa sebelum usia enam, memiliki IQ di atas 50, dan memiliki keterampilan diprediksi akan lebih baik; hidup mandiri. Inggris pada tahun 2004 studi dari 68 orang dewasa yang didiagnosis sebelum 1980 sebagai anak-anak autis dengan IQ di atas 50 menemukan bahwa 12% mencapai tingkat tinggi kemandirian sebagai orang dewasa, 10% mempunyai beberapa teman dan umumnya adapat bekerja, tetapi diperlukan beberapa dukungan, 19% memiliki kemandirian tetapi umumnya tinggal di rumah dan membutuhkan dukungan dan pengawasan dalam kehidupan sehari-hari, 46% diperlukan perawat spesialis dari penyedia fasilitas hunian yang mengkhususkan diri dalam ASD dengan dukungan tingkat tinggi dan 12% membutuhkan tingkat tinggi perawatan di rumah sakit. ( Howlin, et all, 2004 ). Sebuah penelitian tahun 2005 di Swedia 78 orang dewasa yang tidak mengecualikan IQ rendah ditemukan prognosis lebih buruk misalnya, hanya 4% mencapai kemandirian. (binhasyim.wordpress.com/2010/03/10/prognosis-autisme/)
Metode
Metode bahasa yang digunakan penulis dalam menangani kasus ini adalah metode ABA ( dari psikolog Amerika, Prof. O. Ivar Lovaas PhD (1981), Teaching Developmentally Disabled Children – The ME Book, Pro-Ed, Inc ). Kebanyakan orang tua mulai sadar adanya masalah pada anaknya, karena ada kejanggalan dalam perkembangan si anak, yaitu : anak belum bicara, anak perilakunya aneh, anak tidak bisa bermain, anak tidak tertarik dengan lingkungannya, anak tidak paham instruksi, dan sebagainya. Tujuan metode ini adalah untuk meningkatkan pemahaman. Sehingga semakin anak memahami berbagai hal di sekitarnya, maka semakin ia bisa melakukan berbagai hal, dan mengejar ketinggalan– ketinggalanya.







Bab II : Data Kasus
Teknik Pengumpulan Data
Wawancara ( bahasa inggris : interview ) merupakan percakapan antara dua orang atau lebih dan berlangsung antara yang mewawancarai dan yang diwawancarai. Tujuan dari wawancara adalah untuk mendapatkan informasi dimana sang pewawancara melontarkan pertanyaan – pertanyaan untuk dijawab oleh orang yang diwawancarai. ( http: //id.wikipedia.org/wiki/wawancara ).
Dalam melengkapi data-data yang penulis butuhkan, tanya jawab dilakukan kepada kedua orang tua klien untuk mendapatkan keterangan-keterangan serta informasi sesuai dengan blangko wawancara yang telah disediakan. Informasi yang diperoleh mulai dari identitas klien, riwayat kondisi klien dahulunya sampai sekarang sampai motivasi dan tanggapan keluarga mengenai klien.
 Pengamatan atau observasi
            Observasi adalah suatu penyelidikan yang dijalankan secara sistematis dan sengaja diadakan dengan menggunakan alat indra terutama mata terhadap kejadian-kejadian langsung. ( Bimo Walgito, 1987 ).
            Pengamatan adalah aktivitas yang dilakukan makhluk cerdas, dengan maksud merasakan dan kemudian memahami pengetahuan dari sebuah fenomena berdasarkan pengetahuan dan gagasan yang sudah diketahui sebelumnya. ( Wikipedia Bahasa Indonesia 2009 )
Pengamatan atau observasi dilakukan untuk mendukung hasil wawancara yang telah dilakukan sebelumnya yang meliputi aspek kognitif, bahasa bicara dan juga kemampuan sensoris dan motoris yang dimiliki klien, Dari sini kita dapat mulai menentukan diagnosa terapi wicara. Observasi dilakukan oleh penulis langsung kepada klien saat klien mengikuti terapi di lahan tempat penulis melaksanakan praktikum.
Tes
Tes adalah suatu alat yang sudah distandarisasikan untuk mengukur salah satu sifat, kecakapan, atau tingkah laku dengan cara mengukur sesuai dengan sampel dari sifat atau kecakapan tingkah laku ( Siti Rahayu Haditono, 1987 )
Tes dilakukan kepada klien dengan tujuan untuk kebutuhan tester  mengetahui kemampuan klien. Tes yang dilakukan tester kepada klien meliputi tes pemahaman bahasa dan tes artikulasi. Selain melakukan tes tersebut tester juga melakukan pemeriksaan alat wicara kepada klien.
Studi dokumen
            Dalam catatan medis dituliskan bahwa dokter mendiagnosa sementara klien mengalami gangguan speech delay dan development delayed. Keterangan selengkapnya terlampir.


Hasil Pengumpulan Data
Identitas Klien
Klien bernama Daffa Putra Harsono, berusia 4 tahun 2 bulan, beragama Islam. Alamat : Jl.Sadewa Utara E 6, Pandrikan Lor Semarang Tengah. Tempat tanggal lahir : Semarang, 6 Mei 2006. Anak dari pasangan Bapak Priyo Harsono dan Ibu Fitri Aini.
Data yang Berhubungan dengan Faktor Penyebab
Riwayat kondisi sekarang
Berdasarkan diagnosa sementara dari dokter, klien mengalami speech delay dan development delayed dengan ditandai bahasa bicara klien yang mengalami keterlambatan. Menurut hasil observasi, tingkat pemahaman bahasa anak masih sangat kurang. Klien juga belum pernah melaksanakan terapi apapun sebelumnya dan anak pertama kali mulai melaksanakan dan menjalani terapi wicara dan terapi okupasi, di YPAC Semarang sampai sekarang.
Riwayat Kondisi Dahulu
Dari riwayat prenatal, selama masa kehamilan ibu bekerja hingga mengalami kelelahan. Anak lahir dengan normal, langsung menangis, dengan berat badan waktu lahir 3 kg. Untuk riwayat postnatal, anak pernah mengalami disentri dan pada usia 2 tahun klien pernah jatuh dari tempat tidur saat dirawat di rumah sakit. Tapi klien tidak mengalami sakit parah, dan tidak ada riwayat kejang atau trauma.
Riwayat Sosial dan Keluarga serta Tingkah Laku
|           Klien tinggal dengan keluarga besarnya, tetapi klien cenderung lebih dekat dengan eyangnya. Hal ini dikarenakan kedua orang tua klien sibuk bekerja. Sosialisasi klien pun kurang, karena saat sedang bermain bersama teman-teman sebayanya anak lebih asik dengan dirinya sendiri ( dengan dunianya sendiri ). Bahasa yang digunakan dalam keluarga adalah bahasa Indonesia. Tidak terdapat anggota keluarga klien yang mengalami gangguan bahasa dan bicara. Klien sangat periang, tidak mudah marah, tetapi perilaku klien di lingkungan rumah cenderung hyperaktif dan konsentrasi klien juga masih kurang.
Langkah – langkah pemeriksaan
Anamnesa
Dari hasil wawancara dapat diketahui bahwa saat ibu hamil, ibu kurang memperhatikan dan berhati-hati pada kondisi kandungannya. Ibu klien bekerja hingga kelelahan. Anak lahir dengan normal, langsung menangis, dengan berat badan waktu lahir 3 kg. Klien juga pernah mengalami disentri dan pada usia 2 tahun klien pernah jatuh dari tempat tidur saat di rawat di rumah sakit  Klien tidak pernah mengalami sakit parah dan tidak ada riwayat kejang atau trauma. Sosialisasi klien kurang, karena klien lebih asik dengan dirinya sendiri (dengan dunianya sendiri) saat sedang bermain bersama teman sebayanya. Klien sangat periang, tidak mudah marah, tapi perilaku klien di lingkungan rumah cenderung hyperaktif dan konsentrasi klien juga masih kurang. Hasil wawancara selengkapnya sesuai blangko terlampir.
Untuk riwayat perkembangan motorik klien, klien mampu tengkurap di usia 4 bulan, melalui fase merangkak usia 6 bulan, lalu klien sudah bisa duduk di usia 8 bulan, berdiri usia 9 bulan dan baru bisa berjalan pada usia 24 bulan. Sedangkan untuk riwayat perkembangan bahasa bicaranya, dimana refleks vocalization ditandai dengan anak lahir langsung menangis, lalling baru pada usia kurang lebih 1 tahun 2 bulan, echolalia pada usia kurang lebih 4 tahun dan true speech belum mampu dilakukan klien, karena klien belum mampu mengucapkan kata dengan benar.
Observasi / pengamatan
            Dari hasil observasi dapat yang telah dilakukan, diperoleh data sebagai berikut:
Kondisi fisik klien
            Keadaan fisik klien normal, tidak terdapat kecacatan pada anggota tubuh.
Kemampuan motorik
            Kemampuan motorik kasar : Kemampuan motorik kasar klien baik. Klien mampu untuk berdiri sendiri, berjalan, berlari, meloncat-loncat, menendang dan melempar bola tanpa mengalami kesulitan.
            Kemampuan motorik halus : Kemampuan motorik halus klien baik. Klien mampu meraih, mengambil dan memegang suatu benda/ mainan, mampu membalik lembar buku, dan tidak ada tremor.
            Visiomotor koordinasi : Koordinasi visual anak klien baik. Dilihat dari kemampuan koordinasi antara mata, kaki dan tangan klien saat berjalan dan mengambil benda/mainan yang diletakkan di almari mainan yang berjarak 4 meter. Kemampuan koordinasi mata dan tangan saat klien mampu memasukkan puzzle dan memasukkan donat susun dengan baik.
            Keseimbangan : Keseimbangan klien baik. Dapat dilihat pada saat klien jongkok, berdiri, berjalan, berlari dan naik turun tangga yang tidak mengalami kesulitan.
            Lateralisasi : Dari hasil pengamatan, klien dominan menggunakan sisi tubuhnya sebelah kanan. Ditandai dengan mengambil suatu benda dengan tangan kanan dan menendang bola dengan kaki kanan.
Kemampuan Sensorik
            Kemampuan Sensor Auditory (S1) : Pendengaran klien normal, anak merespon saat mendengar bunyi-bunyi disekitarnya dan mencari sumber bunyinya.
            Kemampuan Sensor Visual (S2) : Penglihatan klien normal, tidak ada gangguan penglihatan, anak mampu melihat benda-benda disekitarnya dengan baik. Sebagai contoh : klien bisa mengidentifikasi orang tuanya dalam jarak kurang lebih 4-5 meter.
            Kemampuan Sensor Taktail (S3) : Kemampuan perasa/ respon rangsang, klien normal. Ditandai dengan klien merasa panas saat dekat dengan api, sakit bila dicubit, dan geli bila digelitik.
            Kesan Intelegensi : Dilihat dari hasil pengamatan yang telah dilakukan terapis, didapat kesan intelegensi dibawah standar rata-rata. Karena tingkat usia klien yang menginjak umur 4 tahun, klien belum mampu memahami dan mengenal benda-benda disekitarnya dan masih dalam tahap meniru.
Tes
            Berdasarkan tes yang telah dilakukan oleh terapis kepada klien, diperoleh data sebagai berikut :
Tes Pemeriksaan Alat Wicara
            Dari hasil tes pemeriksaan alat wicara yang telah dilakukan terapis, diperoleh hasil yang normal. Tidak terdapat gangguan pada alat wicara baik secara anatomi dan fisiologis. Materi yang diterapkan sesuai dengan blangko pemeriksaan alat wicara yang disediakan dan blangko terlampir.
            Tes Pemahaman Bahasa Reseptif dan Kemampuan Bahasa Ekspresif: dari hasil tes pemahaman dan kemampuan bahasa, diperoleh hasil bahwa klien masih kurang dalam pemahaman bahasa reseptif dan kemampuan bahasa ekspresifnya. Untuk pemahaman bahasa reseptif klien baru mampu mengenal beberapa bagian dari anggota tubuhnya,  yaitu mata dan hidung dan benda yang dipakai di tubuh yaitu baju dan celana, sedangkan untuk kemampuan bahasa eskpresif klien baru mampu dengan cara menunjuk, dan belum mampu mengucapkan dengan spontan. Karena sebagian besar dari hasil yang telah di tes kan klien hanya mampu untuk meniru dengan catatan anak belum paham sesuai dengan tingkatan umurnya. Materi tes yang diterapkan sesuai dengan blangko yang disediakan dan blangko terlampir.
            Tes Artikulasi : dari hasil tes artikulasi yang telah dilakukan oleh terapis kepada klien, diperoleh hasil bahwa klien masih mengalami subtitusi, omisi dan adisi pada sebagian besar artikulasi. Tes artikulasi yang dilakukan, sesuai blangko yang disediakan dan blangko terlampir.
Studi Dokumen
            Melihat dari hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh ahli lain yaitu dokter, klien di diagnosa speech delay dan development delayed. Keterangan selengkapnya terlampir.
Data yang Berhubungan dengan Syndrome
Syndrome yang Berhubungan dengan bahasa
Berdasarkan hasil wawancara mengenai riwayat perkembangan bahasa bicara, dimana refleks vocalization ditandai dengan anak lahir langsung menangis, lalling baru pada usia kurang lebih 1 tahun 2 bulan, echolalia pada usia kurang lebih 4 tahun dan true speech belum mampu dilakukan klien, karena klien belum mampu mengucapkan kata dengan benar.
Sedangkan dari hasil pengamatan yang telah dilakukan, untuk pemahaman bahasa reseptif, klien mampu memahami perintah sederhana seperti “ambil, masukkan, dan tangkap”. ” Sedangkan untuk kata, klien baru mampu paham pada kata “ mata, hidung, baju, dan celana”. Untuk kemampuan bahasa ekspresifnya, klien baru bisa menunjukkan mata, hidung, baju dan celana. Klien masih sering mengoceh (kata-katanya aneh dan sulit dipahami orang lain) dan masih senang meniru ucapan.
Syndrom yang Berhubungan dengan Wicara  
Kemampuan verbalnya masih kurang. Artikulasinya, sebagian besar mengalami subtitusi, omisi, dan adisi. Klien sudah mampu mengucapkan semua bunyi vokal. Penyebab dari kesalahan artikulasi yang diproduksi adalah karena klien salah dalam penempatan posisi lidah saat memproduksi fonem ( konsonan ) pada kata, dimana sebagian konsonan pada kata yang sebenarnya diproduksi bukan dari pertemuan antara punggung lidah dan soft palatal, justru juga sebagian besar diproduksi melalui pertemuan antara punggung lidah dan soft palatal. Sebagian huruf konsonan pada kata yang diproduksi mayoritas mengalami subtitusi, omisi, dan adisi.
Syndrom yang Berhubungan dengan Suara
Suara klien sesuai pengamatan dapat diketahui bahwa nadanya tinggi, monoton dan terlalu nyaring. Dan juga telah dilakukan tes pemeriksaan kapasitas vital paru-paru dengan cara mengetahui kemampuan anak dalam meniup lilin. Setelah dilakukan tes, klien mampu meniup lilin dengan jarak kurang lebih 10-15 cm. Pola pernafasan klien adalah pernafasan perut.
Syndrom yang berhubungan dengan irama/ kelancaran
Klien tidak mengalami gangguan irama kelancaran.
Data ahli yang relevan
Belum ada hasil pemeriksaan dari ahli lain.
Pengkajian Data
Analisa Data
Dari riwayat prenatal, selama masa kehamilan ibu bekerja hingga mengalami kelelahan. Anak lahir dengan normal, langsung menangis, dengan berat badan waktu lahir 3 kg. Untuk riwayat postnatal, anak pernah mengalami disentri dan pada usia 2 tahun klien pernah jatuh dari tempat tidur saat di rawat di rumah sakit. Tapi klien tidak mengalami sakit parah, dan tidak ada riwayat kejang atau trauma.
Untuk riwayat perkembangan motorik klien, klien tengkurap di usia 4 bulan, melalui fase merangkak usia 6 bulan, lalu klien sudah bisa duduk di usia 8 bulan, berdiri usia 9 bulan dan baru bisa berjalan pada usia 24 bulan. Sedangkan untuk riwayat perkembangan bahasa bicaranya, lahir langsung menangis, lalling baru pada usia kurang lebih 1 tahun 2 bulan, echolalia pada usia kurang lebih 4 tahun dan true speech belum mampu dilakukan klien, karena klien belum mampu mengucapkan kata dengan benar.
Klien tinggal dengan keluarga besarnya, tetapi klien cenderung lebih dekat dengan eyangnya. Hal ini dikarenakan kedua orang tua klien sibuk bekerja. Sosialisasi klien pun kurang, karena anak lebih asik dengan dirinya sendiri (dengan dunianya sendiri) walaupun saat sedang bermain bersama teman sebayanya. Bahasa yang digunakan dalam keluarga adalah bahasa Indonesia. Tidak terdapat anggota keluarga klien yang mengalami gangguan bahasa dan bicara. Klien sangat periang, tidak mudah marah, tapi perilaku klien di lingkungan rumah cenderung hyperaktif dan konsentrasi klien juga masih kurang.
Dari hasil observasi, klien cenderung hiperaktif, sulit konsentrasi, atensi dan  kontak mata yang kurang, suka berkata-kata aneh yang orang lain bahkan orang tua tidak mengerti maksud dari kata-kata tersebut, cuek dengan lingkungan disekitarnya, lebih asyik dengan dirinya sendiri dan acuh saat  dipanggil (tapi kadang juga mau merespon) dan klien senang berjalan berputar dan pandangan tidak focus serta klien juga suka dengan mainan yang berputar. Untuk kemampuan motorik kasar, motorik halus, visiomotor koordinasi, keseimbangan klien baik. Sisi kanan adalah sisi dominan klien atau biasa disebut right handed. Sedangkan untuk kemampuan sensor auditory, sensor visual dan sensor taktail klien normal.


Diagnosa
Dilihat dari syndrom/ gejala-gejala yang terjadi pada klien serta faktor penyebab lain yang sebelumnya telah dijelaskan secara rinci, dapat disimpulkan klien dengan diagnosa  dislogia.
Prognosa
Prognosanya adalah baik. Dilihat dari modalitas yang dimilki klien, usia klien, lingkungan sekitar yang mendukung, serta orang tua klien yang peduli dan sangat ingin anaknya bisa berbicara layaknya anak normal pada umumnya dengan melakukan terapi yang rutin.
Perencanaan Terapi
Tujuan dan Program Terapi Jangka Panjang
Tujuan Jangka Panjang : 1) agar klien mampu meningkatkan pemahaman bahasa, 2) agar klien mampu berartikulasi dengan baik dan benar, dalam jangka waktu kurang lebih 1 tahun.
Program Jangka Panjang : (1) Meningkatkan pemahaman bahasa reseptif dan kemampuan bahasa ekspresif (2) Latihan artikulasi 3) Latihan organ artikulasi
Tujuan dan Program Jangka Pendek
Tujuan Jangka Pendek : (1) Agar klien mampu memahami anggota tubuh,  yaitu tangan dan kaki dengan baik, dalam waktu kurang lebih 1,5 bulan.
Program Jangka Pendek : (1) Latihan pemahaman anggota tubuh tangan dan kaki.
            Tujuan Harian : Agatr klien mampu memahami anggota tubuh yaitu tangan dan kaki.
            Program Harian : Latihan pemahaman tangan dan kaki
Materi Terapi
            Sebelum melakukan tindakan terapi, terlebih dahulu dipersiapkan materi terapi yang digunakan untuk menunjang pelaksanaan terapi. Adapun materi terapi yang digunakan adalah kata benda tangan dan kaki, kartu bergambar (dengan variasi gambar tangan dan kaki), benda tiruan serta objek aslinya dari tangan dan kaki.
Metode Terapi
Metode terapi yang digunakan penulis dalam menangani kasus ini adalah metode ABA. Sumber : ( psikolog Amerika, Prof. O. Ivar Lovaas PhD (1981), Teaching Developmentally Disabled Children – The ME Book, Pro-Ed, Inc ).
Kebanyakan orang tua mulai sadar adanya masalah pada anaknya, karena ada kejanggalan dalam perkembangan si anak, yaitu : anak belum bicara, anak perilakunya aneh, anak tidak bisa bermain, anak tidak tertarik dengan lingkungannya, anak tidak paham instruksi, dan sebagainya. Tujuan metode ini adalah untuk meningkatkan pemahaman. Sehingga semakin anak memahami berbagai hal di sekitarnya, maka semakin ia bisa melakukan berbagai hal, dan mengejar ketinggalan – ketinggalanya.
Alat Terapi
            Alat terapi yang digunakan dalam pelaksanaan terapi antara lain : 1) Kartu bergambar dengan berbagai variasi gambar tangan dan kaki, benda tiruan dan objek asli sesuai dengan materi terapi, yang digunakan untuk melatih pemahaman tentang anggota tubuh dengan cara memperlihatkan gambar, benda tiruan dan objek aslinya. 2) Bola, digunakan untuk menarik perhatian klien sambil melatih pemahaman klien tentang anggota tubuh, sesuai materi terapi yang telah disediakan. 3) Pancing putar, yang digunakan untuk menarik perhatian klien agar memberikan atensinya kepada terapis sambil melatih pemahaman klien tentang anggota tubuh sesuai materi terapi yang telah disediakan, dengan cara memutar putaran pada mainan pancing tersebut, dan memancing ikan diputaran tersebut dengan menggunakan pancingnya. 4) Donat susun, digunakan untuk menarik perhatian klien agar tidak jenuh saat dilaksanakam sesi terapi.
Rencana Pelaksanaan Terapi
Pelaksanaan terapi dilakukan di ruang terapi wicara YPAC Semarang dengan frekuensi pertemuan, akan dilaksanakan sebanyak 12 kali pertemuan dengan 2 kali pertemuan per-minggunya, selama 1,5 bulan dalam durasi waktu 45 menit.

Rencana Terapi
            Pertemuan pertama, pada pertemuan pertama terapis melakukan observasi, wawancara dengan orangtua klien, dan sosialisasi terhadap klien.
            Pertemuan kedua, pada pertemuan kedua terapis memberikan stimulus dengan memperlihatkan berupa kartu bergambar tangan/benda tiruan/objek asli kepada klien dan menanyakan kepada klien, contoh : ”apa ini...?”, ”mana tangan...?” Respon: diharapkan klien paham dan mampu menunjukkan tangan dengan baik dan benar. Apabila klien paham dan mampu melakukan materi terapi yang diajarkan dengan benar , diberi imbalan misalnya mengatakan “pintar” sambil mengelus kepala klien dan klien diperbolehkan memasukkan satu buah donat susun. Jika klien belum paham dan belum bisa melakukannya dengan benar, terapis mengulangi instruksinya. ( Pemberian bantuan kepada klien, contoh : ”ini tangan”, sambil menunjukkan kartu bergambar tangan/ benda tiruannya/tangan dari si terapis dan klien dilakukan apabila klien benar-benar belum paham terhadap materi terapi yang diajarkan dan bantuan tidak diberikan secara terus-menerus).
Pertemuan ketiga, pada pertemuan ketiga terapis mengulang materi terapi pada pertemuan sebelumnya. Respon : diharapkan klien paham dan mampu menunjukkan tangan dengan baik dan benar. Jika klien mampu melakukan materi terapi yang diajarkan, terapis memberi imbalan dengan bertepuk tangan sambil mengatakan ”pintar” dan klien diperbolehkan memasukkan satu buah donat susun. Jika klien belum paham dan belum bisa melakukannya dengan benar, terapis mengulangi instruksinya. ( Pemberian bantuan kepada klien, contoh : ”ini tangan”, sambil menunjukkan kartu bergambar tangan/ benda tiruannya/tangan dari si terapis dan klien dilakukan apabila klien benar-benar belum paham terhadap materi terapi yang diajarkan dan bantuan tidak diberikan secara terus-menerus).
            Pertemuan keempat, pada pertemuan keempat terapis memberikan stimulus dengan memperlihatkan kartu bergambar tangan/benda tiruan/objek aslinya kepada klien dan menanyakan kepada klien, contoh : ”apa ini...?”, ”mana tangan...?” Respon: diharapkan klien paham dan mampu menunjukkan tangan dengan baik dan benar. Apabila klien paham dan mampu melakukan materi terapi yang diajarkan dengan benar, diberi imbalan misalnya dengan terapis mengajak klien tos tangan dan klien diperbolehkan memancing satu ikan di mainan pancing putar. Jika klien belum paham dan belum bisa melakukannya dengan benar, terapis mengulangi instruksinya. ( Pemberian bantuan kepada klien, contoh : ”ini tangan”, sambil menunjukkan kartu bergambar tangan/ benda tiruannya/tangan dari si terapis dan klien dilakukan apabila klien benar-benar belum paham terhadap materi terapi yang diajarkan dan bantuan tidak diberikan secara terus-menerus).         
Pertemuan kelima, pada pertemuan kelima terapis mengulang materi terapi pada pertemuan sebelumnya. Respon : diharapkan klien paham dan mampu menunjukkan tangan dengan baik dan benar. Apabila klien paham dan mampu melakukan materi terapi yang diajarkan dengan benar, diberi imbalan misalnya dengan terapis mengajak klien tos tangan dan klien diperbolehkan melempar/ menendang bola. Jika klien belum paham dan belum bisa melakukannya dengan benar, terapis mengulangi instruksinya. ( Pemberian bantuan kepada klien, contoh : ”ini tangan”, sambil menunjukkan kartu bergambar tangan/ benda tiruannya/tangan dari si terapis dan klien dilakukan apabila klien benar-benar belum paham terhadap materi terapi yang diajarkan dan bantuan tidak diberikan secara terus-menerus).
Pertemuan keenam, pada pertemuan keenam terapis memberikan stimulus dengan memperlihatkan kartu bergambar tangan/benda tiruan/objek aslinya kepada klien dan menanyakan kepada klien, contoh : ”apa ini...?”, ”mana tangan...?” Respon: diharapkan klien mampu paham dan mampu menunjukkan tangan dengan baik dan benar. Apabila klien paham dan mampu melakukan materi terapi yang diajarkan dengan benar, diberi imbalan misalnya dengan terapis member acungan jempol sambil berkata “betul” dan klien diperbolehkan melempar/ menendang bola. Jika klien belum paham dan belum bisa melakukannya dengan benar, terapis mengulangi instruksinya. ( Pemberian bantuan kepada klien, contoh : ”ini tangan”, sambil menunjukkan kartu bergambar tangan/ benda tiruannya/tangan dari si terapis dan klien dilakukan apabila klien benar-benar belum paham terhadap materi terapi yang diajarkan dan bantuan tidak diberikan secara terus-menerus).
Pertemuan ketujuh, pada pertemuan ketujuh terapis memberi materi terapi baru yaitu pemahaman tentang kaki. Terapis memberikan stimulus dengan memperlihatkan kartu bergambar tangan dan kaki/benda tiruan/objek aslinya kepada klien dan menanyakan kepada klien, contoh : ”apa ini...?”, ”mana tangan...?”, ”mana kaki...”. Respon: diharapkan klien paham dan mampu menunjukkan tangan dan kaki dengan baik dan benar. Apabila klien paham dan mampu melakukan materi terapi yang diajarkan dengan benar, diberi imbalan misalnya dengan terapis mengajak klien bertepuk tangan sambil berkata “hore” dan klien diperbolehkan memancing satu ikan di mainan pancing putar. Jika klien belum paham dan belum bisa melakukannya dengan benar, terapis mengulangi instruksinya. ( Pemberian bantuan kepada klien, contoh : ”ini tangan”, ”ini kaki” sambil menunjukkan kartu bergambar tangan/ benda tiruannya/tangan dari si terapis dan klien dilakukan apabila klien benar-benar belum paham terhadap materi terapi yang diajarkan dan bantuan tidak diberikan secara terus-menerus).
Pertemuan kedelapan, pada pertemuan kedelapan terapis mengulang materi terapi pada pertemuan sebelumnya. Respon : diharapkan klien paham dan mampu menunjukkan tangan dan kaki dengan baik dan benar. Apabila klien paham dan mampu melakukan materi terapi yang diajarkan dengan benar, diberi imbalan misalnya dengan terapis memberikan acungan jempol sambil berkata ”betul” dan klien diperbolehkan melempar/ menendang bola. Jika klien belum paham dan belum bisa melakukannya dengan benar, terapis mengulangi instruksinya. ( Pemberian bantuan kepada klien, contoh : ”ini tangan”, ”ini kaki” sambil menunjukkan kartu bergambar tangan/ benda tiruannya/tangan dari si terapis dan klien dilakukan apabila klien benar-benar belum paham terhadap materi terapi yang diajarkan dan bantuan tidak diberikan secara terus-menerus).
            Pertemuan kesembilan, pada pertemuan kesembilan terapis memberikan stimulus dengan memperlihatkan kartu bergambar tangan dan kaki/ benda tiruan/ objek aslinya kepada klien dan menanyakan kepada klien, contoh : ”apa ini...?”, ”mana tangan...?”, ”mana kaki...?”. Respon: diharapkan klien paham dan mampu menunjukkan tangan dan kaki dengan baik dan benar. Apabila klien paham dan mampu melakukan materi terapi yang diajarkan dengan benar, diberi imbalan misalnya dengan terapis mengajak klien bertepuk tangan sambil berkata “hore” dan klien diperbolehkan memancing satu ikan di mainan pancing putar. Jika klien belum paham dan belum bisa melakukannya dengan benar, terapis mengulangi instruksinya. ( Pemberian bantuan kepada klien, contoh : ”ini tangan”, ”ini kaki” sambil menunjukkan kartu bergambar tangan/ benda tiruannya/tangan dari si terapis dan klien dilakukan apabila klien benar-benar belum paham terhadap materi terapi yang diajarkan dan bantuan tidak diberikan secara terus-menerus).
Pertemuan kesepuluh, pada pertemuan kesepuluh terapis mengulang materi terapi pada pertemuan sebelumnya. Respon : diharapkan klien paham dan mampu menunjukkan tangan dan kaki dengan baik dan benar. Apabila klien paham dan mampu melakukan materi terapi yang diajarkan dengan benar, diberi imbalan misalnya dengan terapis memberikan acungan jempol sambil berkata ”betul” dan klien diperbolehkan memasukkan satu buah donat susun. Jika klien belum paham dan belum bisa melakukannya dengan benar, terapis mengulangi instruksinya. ( Pemberian bantuan kepada klien, contoh : ”ini tangan”, ”ini kaki” sambil menunjukkan kartu bergambar tangan/ benda tiruannya/tangan dari si terapis dan klien dilakukan apabila klien benar-benar belum paham terhadap materi terapi yang diajarkan dan bantuan tidak diberikan secara terus-menerus).
Pertemuan kesebelas, pada pertemuan kesebelas terapis memberikan stimulus dengan memperlihatkan kartu bergambar tangan dan kaki/ benda tiruan/ objek aslinya yang berupa tangan dan kaki kepada klien dan menanyakan kepada klien, contoh : ”apa ini...?”, ”mana tangan...?”, ”mana kaki...?”. Respon: diharapkan klien paham dan mampu menunjukkan tangan dan kaki dengan baik dan benar. Apabila klien paham dan mampu melakukan materi terapi yang diajarkan dengan benar, diberi imbalan misalnya dengan terapis mengajak klien tos tangan sambil terapis berkata “hore betul” dan klien diperbolehkan melempar/ menendang bola. Jika klien belum paham dan belum bisa melakukannya dengan benar, terapis mengulangi instruksinya. ( Pemberian bantuan kepada klien, contoh : ”ini tangan”, ”ini kaki” sambil menunjukkan kartu bergambar tangan/ benda tiruannya/tangan dari si terapis dan klien dilakukan apabila klien benar-benar belum paham terhadap materi terapi yang diajarkan dan bantuan tidak diberikan secara terus-menerus).
Pertemuan keduabelas, pada pertemuan keduabelas terapis melakukan evaluasi dari pertemuan pertama sampai pertemuan terakhir.






Bab III : Penutup

Kesimpulan
Klien mengalami dislogia. Dislogia adalah ketidakmampuan dalam mengekspresikan sesuatu secara verbal yang disebabkan karena adanya gangguan pada system saraf pusat yang mengatur tentang bahasa bicara, namun gangguan yang terjadi tidak banyak. Ciri yang menonjol pada klien adalah pemahaman dan  kemampuan bahasa bicara kilen yang tidak sesuai tingkat usianya, dan terjadi subtitusi, omisi, adisi pada artikulasinya.
Saran
Diharapkan terapis untuk bekerjasama dengan orang tua klien, karena hal tersebut sangat berperan penting untuk mendukung tercapainya tujuan terapi. Diharapkan orang tua selalu memberikan stimulus pada anak dimanapun anak berada untuk menunjang perkembangan anak, karena proses pembelajaran itu tidak ada batasnya dan akan terus berkembang.
Tindak Lanjut
Setelah tercapai tujuan dan program jangka pendek, penggunaan metode ini dapat dilanjutkan untuk pelaksanaan program terapi selanjutnya guna meningkatkan pemahaman bahasa reseptif dan kemampuan bahasa ekspresif anak. Untuk mendapatkan hasil terapi yang lebih maksimal, penerapan metode lain akan sangat berpengaruh terhadap pencapaian hasil terapi. Selain itu, stimulus yang diberikan orang tua kepada klien di rumah harus sering dilakukan.
















DAFTAR PUSTAKA

Kenneth Lyen et, all. Rainbow Dreams How To Help Your Child Development Delay. Singapore : The Rainbow Centert. 1997.
Lucille Nicolosi, M. A, Elizabeth Harryman, M. A, Janet Kresheck, Ph. D (1989).
            Terminology of Communication Disorder. Baltimore : Williams & Wilkins.
Wikipedia. (2010). “Autisme”, diambil pada bulan Juli 2010, dari http://id.wikipedia.org/w/index.php?title =Istimewa:Masuk_log&returnto=
Autisme
http://twsurakarta.wordpress.com /2009/03/02/dislogia/.
binhasyim.wordpress.com/2010/03/10/prognosis-autisme/
Makalah Konferensi Nasional Autisme-I, “Towards A Better Life for Autistic Individuals”, Jakarta, Juli 2003.

Tidak ada komentar: